WATER SPORT
Flying FishFlying Fish adalah jenis permainan water sport yang terbaru di Tanjung Benoa Water Sport. Permainan ini bisa dimainkan 2 orang penumpang dan 1 orang instruktur di tengah nya. Flying Fish menggunakan speed boat untuk menariknya hingga terbang sekitar 2 sampai 5 meter, tergantung kecepatan angin di lokasi. Durasi permainan ini adalah 2 putaran.
Jet SkiPermainan ini menggunakan kendaraan boat seperti sepeda motor yang bisa melaju dengan kecepatan tinggi di air. Bagi pemula akan ditemani seorang instruktur di belakang anda untuk membantu saat di pinggir karena banyak terdapat banyak perahu – perahu. Setelah di tengah laut anda bisa kendarai sendiri. Durasi permainan adalah 15 menit.
DivingDiving adalah aktivitas menyelam yang bisa anda nikmati di Bali Water Sport. Di sini anda akan diajak menikmati indahnya alam bawah pantai disertai berbagai jenis ikan warna warni. Sebelum anda memulai penyelaman anda akan diberikan pengarahan mengenai tata cara melakukan penyelaman yang benar. Durasi aktivitas ini adalah 1 kali dive.
Diving
Diving adalah aktivitas menyelam yang bisa anda nikmati di Bali Water Sport. Di sini anda akan diajak menikmati indahnya alam bawah pantai disertai berbagai jenis ikan warna warni. Sebelum anda memulai penyelaman anda akan diberikan pengarahan mengenai tata cara melakukan penyelaman yang benar. Durasi aktivitas ini adalah 1 kali dive.
Snorkeling
Snorkeling adalah wisata menikmati pemandangan bawah laut dari permukaan air dengan menggunakan Masker, Snorkel dan Fin (kaki katak). Kita akan bisa menikmati indahnya trumbu karang dan menyaksikan berbagai jenis ikan yang bertebaran di bawak laut sambil berenang. Durasi wisata snorkeling adalah sekitar 1 jam.
DREAM LAND


GWK AND ULUWATU

ULUWATU TEMPLE
Uluwatu, yang terletak di ujung selatan pulau Bali dan mengarah ke samudra Hindia, merupakan tempat wisata yang menawan, di kawasan ini terdapat Pura Luhur Uluwatu yang mempunyai legenda tersendiri
Pura Luhur Uluwatu adalah salah satu pura di Bali dengan lokasinya yang sangat indah. panoramanya yang spektakuler. Terletak di bagian barat laut, pura ini seperti bertengger di ujung tebing batu yang sangat tinggi dan curam, dengan pemandangan lautnya dibawah berwarna biru bersih dan hantaman ombak yang menghasilkan buih-buih putih yang sangat cantik.
Pura yang berdiri kokoh di atas batu karang yang menjorok ke arah laut dengan ketinggian sekitar 50 meter. Menikmati indahnya sunset pada senja hari dan dan dikaasan ini dapat juga menyaksikan pementasan tari bali yang terkenal ” tari Kecak ” dan disekitar komplek pura terdapat segerombolan monyet. Monyet yang usil suka mengambil kacamata, tas, dompet atau apa saja yang gampang direbut.
Selain itu kawasan pantai di Uluwatu dengan ombaknya yang cukup besar sangat menantang untuk pencinta olahraga surfing. Tiap tahun event berlevel internasional selalu diadakan di pantai seputaran Uluwatu ini.
Untuk bisa masuk kedalam pura ini pengunjung harus mengenakan sarung dan selempang yang bisa disewa ditempat itu. Waktu terbaik untuk mengunjungi pura Uluwatu adalah sore hari pada saat matahari terbenam sehingga bisa menyaksikan pemandangan spektakulernya.
Sejarah
Tahun 1489 Masehi datanglah ke Pulau Bali seorang purohita, sastrawan dan rohaniwan bernama Danghyang Dwijendra , sebelumnya bernama Danghyang Nirartha. menikahi seorang putri di Daha, Jawa Timur. oleh sang Guru dianugerahi bhiseka kawikon dengan nama Danghyang Dwijendra dengan syarat diberi tugas melaksanakan dharmayatra sebagai salah satu syarat kawikon. Dharmayatra ini harus dilaksanakan di Pulau Bali, dengan tambahan tugas yang sangat berat dari guru sekaligus mertuanya yaitu menata kehidupan adat dan agama khususnya di Pulau Bali. Bila dianggap perlu dharmayatra itu dapat diteruskan ke Pulau Sasak dan Sumbawa.
Tahun 1489 Masehi datanglah ke Pulau Bali seorang purohita, sastrawan dan rohaniwan bernama Danghyang Dwijendra , sebelumnya bernama Danghyang Nirartha. menikahi seorang putri di Daha, Jawa Timur. oleh sang Guru dianugerahi bhiseka kawikon dengan nama Danghyang Dwijendra dengan syarat diberi tugas melaksanakan dharmayatra sebagai salah satu syarat kawikon. Dharmayatra ini harus dilaksanakan di Pulau Bali, dengan tambahan tugas yang sangat berat dari guru sekaligus mertuanya yaitu menata kehidupan adat dan agama khususnya di Pulau Bali. Bila dianggap perlu dharmayatra itu dapat diteruskan ke Pulau Sasak dan Sumbawa.
Danghyang Dwijendra datang ke Pulau Bali, pertama kali menginjakkan kakinya di pinggiran pantai barat daya daerah Jembrana , Di tempat inilah Danghyang Dwijendra meninggalkan pemutik atau pengutik dengan tangkai (pati) kayu ancak. Pati kayu ancak itu ternyata hidup dan tumbuh subur menjadi pohon ancak. Sampai sekarang daun kayu ancak dipergunakan sebagai kelengkapan banten di Bali. Sebagai peringatan dan penghormatan terhadap beliau, dibangunlah sebuah pura yang diberi nama Purancak.
Setelah mengadakan dharmayatra di Pulau Bali , dalam perjalanan , Danghyang Dwijendra menuju barat daya ujung selatan Pulau Bali, yaitu pada daerah gersang, penuh batu yang disebut daerah bebukitan. Setelah beberapa saat tinggal di sana, beliau merasa mendapat panggilan dari Hyang Pencipta untuk segera kembali amoring acintia parama moksha. Di tempat inilah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh teringat (icang eling) dengan samaya (janji) dirinya untuk kembali ke asal-Nya. Itulah sebabnya tempat kejadian ini disebut Cangeling sampai sekarang.
Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh ngulati (mencari) tempat yang dianggap aman dan tepat untuk melakukan parama moksha.kemudian berpindah lagi ke lokasi lain. di Desa Pecatu , di tempat ini, kemudian dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Kulat. Nama itu berasal dari kata ngulati. dan sambil menangis karena sedih belum mendapatkan tempat yang aman , beliau membuat lagi pura Pura Ngis (asal dari kata tangis). Pura Ngis ini berlokasi di Banjar Tengah Desa Adat Pecatu.
lanjut perjalanan Beliau kemudian tiba di sebuah tempat yang penuh batu-batu besar. Beliau merasa hanya sendirian. Di tempat ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Batu Diyi. Juga di tempat ini Danghyang Dwijendra merasa kurang aman untuk parama moksha. Dengan perjalanan yang cukup melelahkan menahan lapar dan dahaga, akhirnya beliau tiba di daerah bebukitan yang selalu mendapat sinar matahari terik. Untuk memayungi diri, beliau mengambil sebidang daun kumbang dan berusaha mendapatkan sumber air minum. Setelah berkeliling tidak menemukan sumber air minum, akhirnya Danghyang Dwijendra menancapkan tongkatnya. Maka keluarlah air amertha. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang disebut Pura Payung dengan sumber mata air yang dipergunakan sarana tirtha sampai sekarang.
Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh kemudian beranjak lagi ke lokasi lain, untuk menghibur diri sebelum melaksanakan detik-detik kembali ke asal. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura bernama Pura Selonding yang berlokasi di Banjar Kangin Desa Adat Pecatu. Setelah puas menghibur diri, Danghyang Dwijendra merasa lelah. Maka beliau mencari tempat untuk istirahat. Saking lelahnya sampai-sampai beliau sirep (ketiduran). Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Parerepan (parerepan artinya pasirepan, tempat penginapan) yang berlokasi di Desa Pecatu.
Mendekati detik-detik akhir untuk parama moksha, Danghyang Dwijendra menyucikan diri dan mulat sarira terlebih dahulu. Di tempat ini sampai sekarang berdirilah sebuah pura yang disebut Pura Pangleburan yang berlokasi di Banjar Kauh Desa Adat Pecatu. Setelah menyucikan diri, beliau melanjutkan perjalanannya menuju lokasi ujung barat daya Pulau Bali. Tempat ini terdiri atas batu-batu tebing. Apabila diperhatikan dari bawah permukaan laut, kelihatan saling bertindih, berbentuk kepala bertengger di atas batu-batu tebing itu, dengan ketinggian antara 50-100 meter dari permukaan laut. Dengan demikian disebut Uluwatu. Ulu artinya kepala dan watu berarti batu.
Sebelum Danghyang Dwijendra parama moksha, beliau memanggil juragan perahu yang pernah membawanya dari Sumbawa ke Pulau Bali. Juragan perahu itu bernama Ki Pacek Nambangan Perahu. Sang Pandita minta tolong agar juragan perahu membawa pakaian dan tongkatnya kepada istri beliau yang keempat di Pasraman Griya Sakti Mas di Banjar Pule, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Pakaian itu berupa jubah sutra berwarna hijau muda serta tongkat kayu. Setelah Ki Pacek Nambangan Perahu berangkat menuju Pasraman Danghyang Dwijendra di Mas, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh segera menuju sebuah batu besar di sebelah timur onggokan batu-batu bekas candi peninggalan Kerajaan Sri Wira Dalem Kesari. Di atas batu itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh beryoga mengranasika, laksana keris lepas saking urangka, hilang tanpa bekas, amoring acintia parama moksha.
Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh ngulati (mencari) tempat yang dianggap aman dan tepat untuk melakukan parama moksha.kemudian berpindah lagi ke lokasi lain. di Desa Pecatu , di tempat ini, kemudian dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Kulat. Nama itu berasal dari kata ngulati. dan sambil menangis karena sedih belum mendapatkan tempat yang aman , beliau membuat lagi pura Pura Ngis (asal dari kata tangis). Pura Ngis ini berlokasi di Banjar Tengah Desa Adat Pecatu.
lanjut perjalanan Beliau kemudian tiba di sebuah tempat yang penuh batu-batu besar. Beliau merasa hanya sendirian. Di tempat ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Batu Diyi. Juga di tempat ini Danghyang Dwijendra merasa kurang aman untuk parama moksha. Dengan perjalanan yang cukup melelahkan menahan lapar dan dahaga, akhirnya beliau tiba di daerah bebukitan yang selalu mendapat sinar matahari terik. Untuk memayungi diri, beliau mengambil sebidang daun kumbang dan berusaha mendapatkan sumber air minum. Setelah berkeliling tidak menemukan sumber air minum, akhirnya Danghyang Dwijendra menancapkan tongkatnya. Maka keluarlah air amertha. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang disebut Pura Payung dengan sumber mata air yang dipergunakan sarana tirtha sampai sekarang.
Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh kemudian beranjak lagi ke lokasi lain, untuk menghibur diri sebelum melaksanakan detik-detik kembali ke asal. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura bernama Pura Selonding yang berlokasi di Banjar Kangin Desa Adat Pecatu. Setelah puas menghibur diri, Danghyang Dwijendra merasa lelah. Maka beliau mencari tempat untuk istirahat. Saking lelahnya sampai-sampai beliau sirep (ketiduran). Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Parerepan (parerepan artinya pasirepan, tempat penginapan) yang berlokasi di Desa Pecatu.
Mendekati detik-detik akhir untuk parama moksha, Danghyang Dwijendra menyucikan diri dan mulat sarira terlebih dahulu. Di tempat ini sampai sekarang berdirilah sebuah pura yang disebut Pura Pangleburan yang berlokasi di Banjar Kauh Desa Adat Pecatu. Setelah menyucikan diri, beliau melanjutkan perjalanannya menuju lokasi ujung barat daya Pulau Bali. Tempat ini terdiri atas batu-batu tebing. Apabila diperhatikan dari bawah permukaan laut, kelihatan saling bertindih, berbentuk kepala bertengger di atas batu-batu tebing itu, dengan ketinggian antara 50-100 meter dari permukaan laut. Dengan demikian disebut Uluwatu. Ulu artinya kepala dan watu berarti batu.
Sebelum Danghyang Dwijendra parama moksha, beliau memanggil juragan perahu yang pernah membawanya dari Sumbawa ke Pulau Bali. Juragan perahu itu bernama Ki Pacek Nambangan Perahu. Sang Pandita minta tolong agar juragan perahu membawa pakaian dan tongkatnya kepada istri beliau yang keempat di Pasraman Griya Sakti Mas di Banjar Pule, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Pakaian itu berupa jubah sutra berwarna hijau muda serta tongkat kayu. Setelah Ki Pacek Nambangan Perahu berangkat menuju Pasraman Danghyang Dwijendra di Mas, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh segera menuju sebuah batu besar di sebelah timur onggokan batu-batu bekas candi peninggalan Kerajaan Sri Wira Dalem Kesari. Di atas batu itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh beryoga mengranasika, laksana keris lepas saking urangka, hilang tanpa bekas, amoring acintia parama moksha.
JIMBARAN

NET WILL BE CONTINEW .








temple. The name of Taman Ayun literally means the garden
of mind. It was probably the temple was designed not
only as religious purpose, but also as an art that could
be uses as the place of relax and refreshing the soul
of the king as well as the people who worship the god
and homage of the ancestors. Seen physically, the temple
confirms the specific views nd careful choice of location
from where the environments are lower and on the west
side of the temple location is a river which is blocked
at the southern end of the temple to form a wide pool
bordering the west part of the temple, and exactly across
the pool is the palace.




Alas Kedaton is located in Kukuh countryside, Marga Sub district, Tabanan Regency .
The journey go to this place can be done easily by using motor vehicle
follow the major roadway from Denpasar to Tabanan. On the way go to this
The 


Tirta Empul Temple
The
wellspring emerge from the land is believed that it is the infinite
creation. According to the history, that this water source is arranged
and sanctified by King Indrajaya


The word of Gua Gajah is anticipated coming from the word of Lwa Gajah, the name of Buddhist Temple
or hermitage for Buddhist monk. The Gua Gajah's name is written on
Negarakeertagama papyrus which is compiled by Mpu Prapanca on 1365 M.
Lwa or Lwah/loh mean the river and it reflect to the meaning that the
hermitage is located at Gajah River or in Air Gajah. In the year
inscription 944 Saka, it is mentioned with the name of ‘ser ring Air
Gajah' that is meaning the Subak leader in Air Gajah. The word has
mentioned that the hermitage of Lwa Gajah is located in Subak Air Gajah.







Mount
Batur is located at Kintamani and it has erupted about 24 times since
year 1800 and still active up to now. Since the mount erupting, it has
impacted to the local society life around this mount, like removing
altar (Temple), improve or repairing the village and re-arrange the
tradition. Lake Batur is the biggest lake in Bali and functioning as
irrigation source to all farmers around it and it is also for all Bali
society generally. Kintamani area has been founded some lodging, hotels
and restaurants which are located in Kintamani and Penelokan Village. It
is a
Kintamani
is located in Kintamani sub district, Bangli Regency and about 50 km
from Denpasar Town or about 2 hours by car. All roads are generally in
good condition to access to this place. The fog will descend and blanket
entire area of Kintamani with cold temperature in particular at late
afternoon until the whole of night. The most amazing panorama at
Kintamani can be seen in the morning time, when the sunrise emerges on
the surface of earth precisely on the mount Batur .
